Kewarasan berpikir untuk cinta yang benar

Terima kasih Agustus,
Setiap tahun hadir dengan banyak cerita untuk dikenang. Inovasi-inovasi baru dalam berpikir berkembang searah persepsi baru yang ditemukan sebagai respon perilaku-perilaku sosial dan perasaan. Dengan itu, benih pikir yang dianggap benar terus diusahakan sekuat raga asal membuat bahagia, pikirnya.

Setiap perilaku yang tak biasa perlu terus dikoreksi dengan tanda tanya. Apalagi soal cara pendekatan yang tak wajar atau mencoba-coba kreatif dalam menarik simpatik. Semakin kesini, hanya semakin memuakkan dan membuka kesadaran orang lain tentang kamu yang berlebihan.

Hanya karena satu ditambah satu sama dengan dua terlihat mudah dan biasa, lalu mencoba rumus lain yang lebih rumit padahal sulit dan akhirnya salah. Setiap orang rasanya tidak pernah meminta dikejar dengan susah payah ketika masing-masing disediakan ruang hati senyaman mungkin. Kamu yang belum membuka hati, hanya perlu aku berikan kunci untuk sesekali coba menjamu dan kusuguhkan kopi. Pilihannya sederhana, nyaman silahkan menetap namun jika tidak silahkan pergi. Sifatku yang ikhlas bukan sebuah bentuk kelemahan, namun bentuk penghargaan atas perasaanmu yang kini belum mengarah pandang. 

Kamu yang saat ini memiliki prasyarat yang rumit, begitu aku khawatir hanya sebuah cara untuk mempersulit. Ketidakenakan hati yang menjadi alasan sungkan untuk disampaikan akhirnya memilih mengobrak-abrik keadaan dengan hal-hal yang disyaratkan padahal sudah jelas takkan tergapai. Tujuanku, memberi ruang apa yang kamu mau bukan menunjukkan apa yang menjadi keahlianku. Dimulai dari apa yang kamu suka, hal sederhana yang membuatmu nyaman, dan lelucon singkat yang membuatmu tersenyum bukan rumus-rumus baru yang akan membuatmu bingung dan akhirnya tak mau.

Aku yang menyadari ketidakwarasanku hari ini adalah sebuah kesalahan atas segala upaya pendekatan. Berpikir tak lagi benar, jangan-jangan ini bukan lagi soal hati namun obsesi. Ketika akhirnya kamu berhasil aku dapati, bukankah kita hanya menunggu waktu untuk sama-sama sakit hati?

Hal-hal yang dimulai bukan dengan cara saling mengerti bukan suatu hal yang harus dilanjutkan. Kamu yang saat ini aku perjuangkan tak mau dengan caraku yang wajar aku upayakan, berarti sampai disini juga posisiku berdiri. Bolehkah aku kembali, bukan menyerah melainkan introspeksi diri. Barangkali cara-caraku selama ini yang terlalu berambisi sehingga muncul ilusi-ilusi baru yang ambigu. 

Titik waras dalam berpikir adalah kelogisan kuantitas usaha. Aku boleh memperjuangkanmu melalui banyak kalimat meyakinkan diri untuk kemari, namun ketika dirimu enggan dan tetap memilih menjadi bintang yang tak mau aku gapai, aku masuk kembali tak ingin menatap lagi. Atas dasar cinta yang bukan menyoal tentang hasrat, namun keinginan untuk belajar dari kelebihan yang nantinya bisa saling menyempurnakan. Bukankah jika masih mempermasalahkan soal kriteria, itu bukan lagi soal kebenaran cinta?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKANKAH INI AKHIRNYA?

TENTANG DOA DAN KABAR

Public Speaking: Bakat atu kodrat lahiriah?